16 November 2025

Get In Touch

Soeharto Dibangun CIA, Dihancurkan CIA

Benz Jono Hartono (Dok.Pri)
Benz Jono Hartono (Dok.Pri)

OPINI (Lentera) -Dalam sejarah politik dunia, tidak ada kekuasaan yang lahir tanpa kepentingan. Begitu pula dengan Jenderal Besar TNI (Purn) Soeharto — sosok yang oleh sebagian bangsa dipuja sebagai “Bapak Pembangunan”, namun oleh sebagian lain dianggap simbol otoritarianisme Orde Baru.

Ironisnya, bila dilihat dari lensa geopolitik, kelahiran dan kejatuhan Soeharto sama-sama beraroma operasi intelijen global, khususnya dari Central Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat.

Soeharto, Antitesis Sukarno

Pada awal 1960-an, Soekarno berdiri sebagai salah satu tokoh Dunia Ketiga yang paling berani menentang dominasi Barat. Ia menasionalisasi aset-aset kolonial, mendukung gerakan nonblok, dan menggandeng Beijing serta Moskow dalam politik poros Jakarta–Peking–Pyongyang.

Di mata Washington, Soekarno adalah ancaman ideologis: nasionalis radikal dengan simpati komunis, yang bisa menyeret Indonesia—negara kepulauan strategis dengan cadangan sumber daya melimpah—ke orbit Uni Soviet.

Maka, Amerika Serikat butuh “penyeimbang” dari dalam tubuh militer Indonesia: seorang perwira yang patuh, kalkulatif, dan lebih pragmatis daripada ideologis. Sosok itu ditemukan dalam diri Mayor Jenderal Soeharto.

Operasi “Jakarta” Strategi Bayangan CIA

Banyak arsip CIA yang telah dideklasifikasi mengungkap bagaimana Amerika Serikat ikut membangun pondasi kekuasaan Soeharto. Dokumen-dokumen itu menunjukkan keterlibatan CIA dalam memberikan intel briefings, daftar nama kader PKI, hingga dukungan logistik bagi Angkatan Darat pasca peristiwa 30 September 1965.

Kampanye “anti-komunis” yang melanda Indonesia 1965–1966 bukan sekadar gejolak politik domestik, tetapi bagian dari strategi global Amerika untuk menghentikan pengaruh komunisme di Asia Tenggara, setelah kekalahan Perancis di Vietnam dan meningkatnya pengaruh Mao di Tiongkok.

Soeharto menjadi figur yang “dibutuhkan sejarah” bagi kepentingan Washington: nasionalis tanpa ideologi kiri, militeris tanpa kesetiaan ideologis terhadap Uni Soviet, dan pemimpin yang bisa mengamankan jalur minyak, tambang, dan stabilitas politik di Asia Tenggara.

Dari “The Rising General” ke “The Washington’s Man”

Setelah menyingkirkan Soekarno, Soeharto menjadi favorit baru Amerika. Tahun-tahun awal Orde Baru dipenuhi dukungan ekonomi dari Barat: pinjaman besar dari Bank Dunia, IMF, dan lembaga donor internasional.

Korporasi Amerika seperti Freeport, Caltex, dan Mobil Oil menjadi pelopor investasi di tanah air. Mereka masuk bukan karena keajaiban ekonomi semata, tetapi karena rezim Soeharto menjamin stabilitas politik yang menguntungkan modal asing.

Dalam konteks Perang Dingin, Soeharto dianggap berhasil “menjinakkan” Indonesia. Ia menjaga jarak dari komunisme, sekaligus menjadi sekutu strategis bagi kepentingan Amerika di kawasan Asia Pasifik.

Dari sinilah lahir apa yang disebut para analis sebagai The CIA’s Most Successful Regime Change Operation — pengalihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto tanpa invasi militer asing.

Dari Sahabat menjadi Beban

Namun, sejarah selalu berputar. Setelah Perang Dingin berakhir, Uni Soviet runtuh, dan dunia beralih ke era globalisasi neoliberal. Amerika tidak lagi memerlukan diktator militer untuk menjaga stabilitas ideologis, mereka kini memerlukan pasar bebas dan demokrasi formal untuk melindungi investasi global.

Soeharto, yang selama tiga dekade berkuasa dengan tangan besi, kini dianggap outdated. Rezimnya yang sarat nepotisme, korupsi, dan kolusi menjadi beban bagi kredibilitas Amerika yang mulai mengampanyekan demokrasi dan hak asasi manusia.

Tahun 1997–1998, krisis moneter Asia menjadi momentum perubahan. IMF — yang sebelumnya menjadi sekutu ekonomi Orde Baru — justru menekan Soeharto dengan paket reformasi ekonomi yang memukul struktur ekonomi nasional. Di belakang layar, tekanan politik dan media internasional diarahkan untuk mempercepat kejatuhan sang jenderal.

Soeharto yang dulu dibangun oleh dukungan Washington, kini ditinggalkan. Ia “dihancurkan” bukan dengan peluru, tetapi dengan financial warfare dan opini global yang dikendalikan dari luar negeri.

Ironi Sejarah antara Nasionalisme dan Ketergantungan

Soeharto memang bukan pion yang sepenuhnya pasif. Ia tahu bagaimana memanfaatkan dukungan Barat untuk memperkuat militer, membangun infrastruktur, dan menegakkan stabilitas nasional. Namun, harga yang dibayar bangsa ini adalah ketergantungan ekonomi terhadap utang luar negeri, terbentuknya oligarki kroni, dan hilangnya kedaulatan ekonomi di bawah tekanan globalisasi.

Pada akhirnya, perjalanan Soeharto mencerminkan paradoks bangsa-bangsa dunia ketiga, dibangun oleh tangan asing, dan sering kali dijatuhkan oleh tangan yang sama, ketika kepentingan berubah arah.

Pelajaran dari Sejarah

Jika Soeharto dibangun dan dihancurkan oleh CIA, maka pelajaran terbesar bagi bangsa Indonesia adalah satu: jangan pernah menyerahkan arah bangsa kepada kekuatan asing, betapapun manis janjinya.

Sejarah Soeharto bukan sekadar biografi seorang jenderal, melainkan cermin bagaimana geopolitik global bekerja: tidak ada teman abadi, hanya kepentingan abadi.

Bangsa yang tidak belajar dari sejarahnya akan terus menjadi alat dari permainan orang lain — dan itulah tragedi yang seharusnya tidak lagi diulang oleh generasi hari ini.

Benz Jono Hartono, HIAWATHA INSTITUTE dan Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ) PWI Pusat di Jakarta|Editor: Arifin BH

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera Today.
Lentera Today.