Taman Safari Indonesia Perkuat Komitmen Konservasi: Fokus Lindungi Satwa Nonkharismatik
PASURUAN (Lentera) — Taman Safari Indonesia (TSI) kembali menegaskan komitmennya dalam pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia. Sepanjang 2025, fokus konservasi diarahkan pada satwa nonkharismatik atau satwa yang kerap luput dari perhatian publik, meski berstatus kritis dan terancam punah.
Sejumlah spesies endemik yang menjadi prioritas antara lain Murai Maratua (Copsychus stricklandii barbouri), Babi Kutil Jawa (Sus verrucosus), Anoa Buton (Bubalus depressicornis), serta Monyet Kekah Natuna (Presbytis natunae). Langkah ini diambil menyusul terus menyusutnya populasi satwa-satwa tersebut akibat degradasi habitat dan perburuan liar.
Salah satunya, Murai Maratua, burung endemik Kepulauan Maratua, Kalimantan Timur, yang kini berada dalam pengawasan ketat. TSI menjalankan program konservasi intensif melalui Prigen Conservation Breeding Ark (PCBA), termasuk pengembangbiakan yang telah dilakukan di Taman Safari Prigen dan Bogor.
Sejak dimulai pada 2017 dengan 26 kandang burung kicau, PCBA kini berkembang pesat dengan ratusan kandang dan ratusan individu satwa dari hampir 100 jenis yang dipelihara dan dikembangbiakkan.
Kurator PCBA asal Jerman, Jochen Menner, dikutip dari keterangan tertulis Minggu (21/12/2025) menjelaskan bahwa sekitar 96 persen Murai Maratua di Pulau Maratua berada dalam kepemilikan pribadi dan kawasan resor pariwisata. Menurutnya, pendekatan konservasi perlu melihat nilai ekologis sekaligus potensi ekonomi berkelanjutan.
“Di sini kita tidak bicara soal hama pertanian, tetapi nilai ekonomis. Jika ada burung langka yang terancam punah dan dikelola dengan baik, keberadaannya justru bisa menjadi daya tarik wisata. Itu yang mendorong inisiatif pelestarian,” ujarnya.
Di sisi lain, Babi Kutil Jawa mendapat perhatian khusus melalui program konservasi ex-situ. Satwa endemik Jawa ini memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan, namun populasinya sempat dianggap hampir punah sebelum program penangkaran intensif dilakukan.
TSI bekerja sama dengan lembaga internasional untuk menjaga keragaman genetik melalui pengelolaan silsilah atau studbook yang ketat. Bahkan, pada 1–6 Februari 2026, PCBA berencana menggelar simposium internasional guna merumuskan kerangka teknis penyelamatan dan pengelolaan babi liar tersebut.
Selain itu, pada pertengahan 2026, TSI juga akan menginisiasi kampanye penyelamatan Kelinci Belang Sumatera di Jambi.
“Ini bukti keseriusan kami. Khusus babi liar, kami berharap pemerintah dan masyarakat Indonesia juga memberi perhatian. Akan ada sekitar 40 ahli satwa dan pemerhati dari berbagai negara. Masa kita sebagai ‘pemilik’ satwa-satwa ini justru tidak memberi atensi,” kata Tony Sumampau.
Tony Sumampau dan Jochen Menner sepakat, kondisi ini menjadi ironi di tengah predikat Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaan biodiversitas terbesar di dunia. Menurut mereka, tanpa perhatian serius terhadap satwa nonkharismatik, keseimbangan ekosistem alam Indonesia terancam terganggu.
Editor: Widyawati/rls





