31 December 2025

Get In Touch

Guru Besar Unair Soroti Tata Kelola Lingkungan, serta Pentingnya Status Bencana Nasional

Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr Suparto Wijoyo SH MHum CSSL
Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr Suparto Wijoyo SH MHum CSSL

SURABAYA (Lentera)– Bencana alam yang melanda sejumlah wilayah di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat memunculkan urgensi penetapan status bencana nasional. Selain berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat, bencana tersebut juga menimbulkan kerusakan lingkungan dan infrastruktur dalam skala besar. 

Terkait hal itu, Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr Suparto Wijoyo SH MHum CSSL menilai penetapan status tersebut penting untuk menjamin efektivitas penanganan sekaligus kepastian hukum bagi pemerintah.

Menurut Prof Suparto, atau yang akrab disapa Prof Jojo, bencana yang terjadi saat ini tidak dapat dilepaskan dari cara manusia mengelola alam. Ia mengatakan, pendekatan pembangunan yang bersifat antroposentri, yakni menempatkan kepentingan manusia di atas daya dukung lingkungan telah memperbesar risiko bencana dan memperluas dampaknya.

“Penyebab utama banjir bukanlah hujan semata, melainkan buruknya manajemen lingkungan. Jika tidak ada deforestasi, penyalahgunaan ruang, dan praktik industri yang mengabaikan fungsi ekologis, bencana sebesar ini tidak akan terjadi. Apa yang kita alami hari ini merupakan akumulasi dari tata kelola kehutanan yang memang harus dikoreksi secara menyeluruh,” ucapnya, Rabu (31/12/2025).

Prof Jojo menjelaskan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah mengatur secara komprehensif mekanisme penanganan bencana, mulai dari tahap pencegahan, tanggap darurat, hingga rehabilitasi dan rekonstruksi. Dalam regulasi tersebut, penetapan status bencana nasional didasarkan pada sejumlah indikator, seperti jumlah korban jiwa, luas wilayah terdampak, tingkat kerusakan infrastruktur, serta kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola kondisi darurat.

“Ketika korban jiwa besar, ratusan ribu warga mengungsi, dan ratusan ribu hektare wilayah terdampak, maka pertanyaannya bukan lagi apakah ini bencana besar atau tidak. Yang perlu ditanyakan adalah, apakah kondisi seperti ini masih pantas disebut bencana lokal?” jelasnya.

Ia menambahkan, kerusakan yang meliputi infrastruktur jalan, listrik, irigasi, sanitasi, hingga sektor energi di lintas provinsi menunjukkan bahwa bencana tersebut telah melampaui kapasitas daerah. Untuk itu, penetapan status bencana nasional menjadi sangat relevan.

Lebih lanjut, Prof Jojo menekankan penetapan status bencana nasional membawa implikasi penting, terutama dalam aspek koordinasi dan pembiayaan. Dengan status tersebut, pemerintah pusat dapat mengerahkan seluruh sumber daya nasional secara lebih terkoordinasi, termasuk melalui dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Status bencana nasional memberikan kepastian hukum bagi BNPB, kementerian, dan pemerintah daerah. Semua pihak dapat bergerak lebih cepat dan akuntabel, tanpa kekhawatiran akan konsekuensi hukum dalam penggunaan anggaran maupun pengambilan keputusan di lapangan,” tuturnya.

Ia juga menyoroti dalam banyak kasus, pemanfaatan dana kebencanaan kerap dihadapkan pada persoalan hukum di kemudian hari. Oleh karena itu, kejelasan status bencana menjadi instrumen penting untuk memberikan ruang gerak yang aman dan bertanggung jawab bagi seluruh pemangku kepentingan.

“Dengan status nasional, kapasitas hukum menjadi lebih kuat. Negara hadir secara penuh, dan upaya pemulihan dapat berjalan lebih optimal,” pungkasnya.

 

Reporter: Amanah/Editor: Ais 

 

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.