
MALANG (Lentera) - Penurunan tingkat hunian (okupansi) hotel di Kota Malang sejak Maret 2025, berpotensi terhadap penurunan penerimaan pajak daerah.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Malang, Agoes Basoeki menyebut kontribusi pajak dari sektor perhotelan menurun, seiring berkurangnya aktivitas pemerintahan yang biasa digelar di hotel-hotel.
Menurut Agoes, penurunan okupansi hotel mulai terasa sejak Maret dan mencapai titik paling rendah di bulan April 2025, secara langsung berpengaruh terhadap kemampuan hotel dalam menyetorkan pajak ke pemerintah daerah.
"Di kami kan ada penurunan okupansi, jadi itu pasti berpengaruh ke setor pajak kami. Kalau okupansinya sedikit, ya kami setornya juga sedikit," ujar Agoes, Sabtu (19/4/2025).
Menurutnya, sistem pungutan pajak dari sektor perhotelan bekerja berdasarkan jumlah transaksi yang dilakukan oleh pengunjung. Dengan demikian, ketika jumlah tamu hotel menurun, nominal pajak yang bisa disetorkan pun ikut menurun.
"Karena pungutan itu dari yang dibayarkan oleh pengunjung, sebagian kami setor ke pemerintah daerah. Kalau pengunjungnya turun, otomatis pajaknya juga turun," jelasnya.
PHRI mencatat sejak April 2025 sejumlah hotel mulai mengalami keterpurukan imbas efisiensi, terutama bagi hotel-hotel konvensional di Kota Malang. Tidak hanya ruang pertemuan yang sepi dari aktivitas rapat, sejumlah hotel bahkan telah mengambil langkah efisiensi dengan menerapkan sistem unpaid leave bagi pegawai kasual.
"Biasanya April itu ramai, karena banyak kegiatan dari pemerintah pusat, provinsi, maupun daerah. Tapi sekarang sepi. Mereka lebih memilih acara yang sederhana, entah itu online atau di gedung-gedung pemerintahan," tambah Agoes.
Kendati sempat tertolong dengan momen libur Lebaran yang mampu mendongkrak okupansi hingga 80 persen, tingkat hunian hotel pasca Lebaran kembali anjlok ke kisaran 30 hingga 40 persen.
Selain masalah okupansi, pelaku usaha perhotelan juga menghadapi tantangan lain berupa beban pajak dan retribusi yang tinggi di sektor tertentu. Salah satu yang dikeluhkan adalah pajak hiburan, termasuk spa, yang mencapai 50 persen.
"Meskipun spa yang jadi bagian dari hotel itu masih ringan, tapi untuk pajak air bawah tanah cukup tinggi. Untungnya saat ini kami masih dapat pengampunan. Kalau nanti pengampunannya dicabut, kami khawatir beban itu akan berat sekali," ucapnya.
Sementara itu, berdasarkan data dari Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), sepanjang 2024 sektor perhotelan telah menyumbang Rp 56 miliar dari pajak hotel.
Untuk triwulan pertama 2025, jumlah pajak hotel yang berhasil dikumpulkan mencapai Rp 14 miliar, dengan rincian Januari Rp 6 miliar, Februari Rp 4,6 miliar, dan Maret Rp 3,4 miliar.
Reporter: Santi Wahyu/Editor: Ais