
SURABAYA (Lentera) - Antibiotik sering digunakan untuk mengatasi berbagai jenis penyakit, dari yang ringan seperti flu hingga kondisi serius seperti pneumonia.
Bahkan, obat ini sering kali juga dikonsumsi tanpa resep dokter atau tidak sesuai dengan petunjuk dokter.
Para peneliti menemukan fakta baru bahwa penggunaan obat antibiotik secara berulang, terutama pada masa kanak-kanak, bisa berdampak negatif di masa depan.
Dikutip pada Medical Daily pada Minggu (20/4/2025), sebuah studi baru yang diterbitkan dalam Journal of Infectious Diseases menyelidiki bagaimana penggunaan antibiotik dapat terkait dengan perkembangan kondisi kesehatan kronis pada anak-anak.
Mereka menganalisis catatan kesehatan lebih dari satu juta bayi di Inggris, melacak diagnosis berbagai kondisi pediatrik jangka panjang hingga usia 12 tahun.
Temuan para peneliti
Hasilnya, para peneliti menemukan bahwa paparan antibiotik yang sering pada anak-anak dapat mengganggu keseimbangan mikroba usus yang rapuh.
Mereka rentan mengembangkan berbagai kondisi alergi saat beranjak dewasa, seperti asma, alergi makanan, dan rhinitis alergi.
Selain itu, ada risiko lain yang ditemukan oleh para peneliti tersebut sebagai dampak penggunaan obat antibiotik berulang pada masa kanak-kanak, yaitu cacat intelektual.
Namun, mereka mengatakan bahwa membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengonfirmasi dampak tersebut.
"Antibiotik memainkan peran penting dalam memerangi infeksi bakteri, tetapi dokter harus berhati-hati saat meresepkan antibiotik kepada anak di bawah usia 2 tahun,” kata Daniel Horton, penulis utama studi tersebut dalam rilis beritanya.
“Karena penggunaan (antibiotik) yang sering dapat memengaruhi hasil kesehatan jangka panjang," tandasnya.
Sementara, hubungan antara penggunaan obat antibiotik dan risiko kesehatan juga ditemukan bergantung pada jenis antibiotiknya.
Artinya, semakin banyak jenis antibiotik yang dikonsumsi anak, semakin tinggi risikonya.
Hubungan obat antibiotik dengan penyakit autoimun
Penelitian tersebut juga mendapatkan fakta bahwa tidak semua masalah kesehatan anak-anak terkait dengan penggunaan obat antibiotik.
Contohnya, para peneliti menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara obat antibiotik dengan risiko penyakit autoimun di masa depan.
Penyakit autoimun meliputi penyakit celiac, penyakit radang usus, atau juvenile idiopathic arthritis.
Demikian pula, para peneliti tidak menemukan hubungan yang kuat juga antara obat antibiotik yang digunakan berulang pada anak-anak dengan masalah perkembangan saraf, seperti attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) atau autism spectrum disorder (ASD).
Horton yang juga profesor madya pediatri dan epidemiologi di Rutgers Robert Wood Johnson Medical School dan Rutgers School of Public Health mengatakan bahwa antibiotik adalah obat yang penting dan terkadang dapat menyelamatkan nyawa.
“Tetapi, semua infeksi pada anak kecil perlu diobati dengan antibiotik. Orang tua harus terus berkonsultasi dengan dokter anak mereka tentang perawatan terbaik," pungkasnya.
Perlu diketahui di Indonesia pemberian secara bebas antibiotik di sarana pelayanan akefarmasian (apotek) dari apoteker kepada masyarakat dan pihak lain masih cukup tinggi.
Hasil pengawasan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) apotek yang melakukan penyerahan antibiotik tanpa resep dokter dari 2021 hingga 2023 berturut-turut sebesar 79,57 persen, 75,49 persen dan 70,75 persen.
Meskipun data menunjukkan tren penurunan, tetap saja rata-rata secara nasional penyerahan antibiotik tanpa resep dokter masih terbilang tinggi.
Dampak Konsumsi Antibiotik
Gangguan Pencernaan
Dampak umum dari penggunaan antibiotik adalah masalah pencernaan, seperti perut kembung, muntah, diare dan mual. Kondisi tersebut terjadi karena kandungan antibiotik ikut menghilangkan bakteri baik dalam tubuh.
Bakteri baik berfungsi mencerna makanan, menyerap nutrisi dan menghasilkan asam folat, niasin, vitamin B6 serta B12. Bakteri ini juga membantu membunuh kuman penyebab penyakit di saluran pencernaan.
Ketika jumlahnya berkurang, pencernaan tidak memiliki perlindungan alami untuk mencegah paparan kuman. Dampaknya, muncul sejumlah gangguan yang disebutkan sebelumnya.
Gagal Ginjal
Gagal ginjal terjadi ketika salah satu atau kedua ginjal tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Penggunaan antibiotik bisa menjadi salah satu pemicunya.
Kondisi ini lebih rentan terjadi pada lansia karena fungsi ginjal mereka sudah tidak optimal. Biasanya, dokter akan meresepkan antibiotik dalam resep rendah guna mencegah gangguan.
Gagal ginjal akibat antibiotik ditandai dengan beberapa gejala, yakni pembengkakan di wajah dan penurunan frekuensi buang air kecil. Tanda lain yang tampak, termasuk sesak napas, lemas, mual dan kulit terlihat pucat.
Perubahan pada Darah
Kondisi ini ditandai dengan penurunan kadar sel darah putih dalam tubuh, sehingga infeksi lebih mudah menyerang. Kondisi lainnya yaitu trombositopenia. Ini ditandai dengan penurunan kadar keping darah (trombosit).
Rendahnya kadar trombosit dalam tubuh dapat memicu perdarahan internal. Komplikasi dari kondisi ini adalah perdarahan pada organ otak yang bisa berujung kematian.
Gangguan pada Organ Jantung
Ada beberapa jenis gangguan jantung yang rentan dialami oleh pengguna antibiotik. Di antaranya perubahan detak jantung dan tekanan darah rendah. Masalah tersebut terjadi akibat terganggunya proses distribusi darah ke seluruh tubuh.
Sementara pada pengidap penyakit jantung, mereka perlu mendapatkan jenis obat yang tepat. Sebab, pengidap berisiko terkena dampak, yakni kejang-kejang. Kondisi itu biasanya dipicu oleh penggunaan eritromisin, ciprofloxacin dan terbinafine.
Kejang-kejang
Kejang adalah gangguan yang menyebabkan perubahan aktivitas listrik di otak secara spontan. Akibatnya, terjadi perubahan gerakan tubuh yang tidak terkendali, bahkan penurunan kesadaran.
Kondisi ini bisa terjadi akibat mengonsumsi beberapa jenis antibiotik, di antaranya ciprofloxacin, imipenem, cefixime dan cephaxelin. Guna mencegah kondisi tersebut, pastikan untuk menggunakan obat sesuai anjuran dokter.
Resistensi Antibiotik
Ini menjadi dampak paling parah dari penggunaan antibiotik. Normalnya, bakteri akan terbunuh karena obat. Namun, resistensi membuat bakteri bermutasi dan membentuk kekebalan terhadap antibiotik.
Mutasi bakteri ini tidak dapat hilang dan bisa menular ke orang lain. Mereka bermutasi dengan memproduksi enzim yang bisa merusak antibiotik. Mereka juga mengubah dinding atau membran sel bakteri sehingga obat tidak dapat menembus dan membunuhnya.
Karena bisa membahayakan tubuh, golongan obat ini tidak boleh dikonsumsi sembarangan. Harus sesuai dengan resep dan anjuran dokter serta gangguan kesehatan yang dialami.
Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber