25 July 2025

Get In Touch

Dosen FK UB Sebut Paparan Sound Horeg Berisiko Rusak Sebabkan Tuli

(Ilustrasi) Sound Horeg. (dok.ist/MUI Jatim
(Ilustrasi) Sound Horeg. (dok.ist/MUI Jatim

MALANG (Lentera) - Paparan suara keras dari sound horeg dapat berisiko merusak pendengaran bahkan menyebabkan tuli. Peringatan ini disampaikan oleh dokter spesialis Telinga, Hidung, Tenggorokan (THT) dari Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FK UB), dr. Meyrna Heryaning Putri, Sp.T.H.T.B.K.L., FICS.

Menurut dr. Meyrna, batas aman suara yang bisa ditoleransi telinga manusia adalah 85 desibel (dB) selama delapan jam. Namun, suara sound horeg, yakni gabungan beberapa pengeras suara yang dibunyikan bersamaan di satu tempat, dapat mencapai tingkat 130 dB, jauh melebihi batas aman tersebut.

"Dalam waktu singkat, volume suara bahkan sampai 140 dB, dapat menyebabkan kerusakan fatal. Tidak hanya saraf, tapi juga gendang telinga, tulang-tulang pendengaran, dan seluruh komponen di dalam telinga, termasuk rumah siput," ujar Meyrna, dikutip pada Rabu (23/7/2025).

Dijelaskannya, rumah siput berperan penting dalam menerima dan mengantarkan suara ke saraf pendengaran. Apabila rumah siput mengalami kerusakan akibat paparan suara berlebihan, fungsi pendengaran pun terganggu.

Dampak gangguan pendengaran, lanjutnya, tidak hanya berupa penurunan kemampuan mendengar, tetapi juga dapat menimbulkan masalah lain. Meliputi sulit berkomunikasi, mudah emosi, hingga mempengaruhi kehidupan sosial seseorang.

Gejala awal gangguan pendengaran ditandai dengan telinga terasa penuh atau berdenging. Kondisi ini disebut temporary threshold shift atau pergeseran ambang dengar sementara. Namun, jika terjadi berulang, dapat berkembang menjadi hearing loss dengan tingkat keparahan yang bervariasi, dari ringan, sedang, hingga berat. 

"Semakin keras dan semakin lama kita mendengarkan musik, semakin besar risiko gangguan pendengaran," katanya.

Sebagai langkah pencegahan, Meyrna menyarankan masyarakat menghindari paparan suara berlebihan. Jika terpaksa, disarankan menggunakan pelindung telinga seperti earplug atau earmuff.

Ditambahkannya, kelompok usia yang paling rentan terhadap dampak sound horeg adalah bayi, anak-anak, dan lansia. Selain itu, individu dengan kelainan bawaan pada rumah siput atau memiliki riwayat penyakit telinga, seperti infeksi atau gendang telinga berlubang, juga lebih berisiko.

Kendati berisiko tinggi, keberadaan sound horeg, menurut dr. Meyrna, mulai dianggap sebagai bagian dari budaya masyarakat. "Perasaan memiliki budaya ini menumbuhkan pemahaman bahwa sound horeg bukan sesuatu yang salah, meskipun bahayanya sangat tinggi," tuturnya.

dr. Meyrna mengingatkan, menikmati musik bukan hal yang keliru. Namun, penting bagi masyarakat untuk memahami batas aman pendengaran. Ia juga menegaskan, edukasi soal bahaya paparan suara berlebihan bukan hanya menjadi tugas dokter THT, tetapi tanggung jawab bersama.

Reporter: Santi Wahyu/Editor:Widyawati

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.