08 August 2025

Get In Touch

Kisah Dua Dokter UB Malang Kembali dari Misi Kemanusiaan di Gaza

Dua dokter UB bertugas di dua RS di Gaza, Palestina. (dok. Humas UB)
Dua dokter UB bertugas di dua RS di Gaza, Palestina. (dok. Humas UB)

MALANG (Lentera) - Setelah menuntaskan misi kemanusiaan selama hampir tiga pekan di Gaza, Palestina, dua dokter dari Universitas Brawijaya (UB) Malang kembali ke Indonesia dengan membawa kisah-kisah menggetarkan.

Mereka adalah Dr. dr. Mohammad Kuntadi Syamsul Hidayat, M.Kes., MMR., Sp.OT, dan Dr. dr. Ristiawan Muji Laksono, Sp.An-TI, Subsp.M.N.(K), FIPP. Keduanya memberikan layanan medis di dua rumah sakit yang masih beroperasi, yakni Rumah Sakit An-Nasr dan Rumah Sakit Eropa.

"Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Di Gaza, bahkan jika tidak bisa membantu secara medis, kehadiran pun bisa saja menjadi penghibur bagi mereka yang kehilangan," ujar Kuntadi, dikutip pada Rabu (6/8/2025).

Untuk diketahui, keduanya merupakan dosen Fakultas Kedokteran UB Malang yang tergabung dalam tim relawan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI), bekerja sama dengan lembaga kemanusiaan Rahmah Worldwide.

Menurut Kuntadi, pengalaman di Gaza menjadi titik emosional tersendiri baginya. Ia menyaksikan langsung anak-anak tergeletak di lantai rumah sakit, tubuh mereka penuh darah dan napas tersengal tanpa perawatan layak.

Salah satu momen paling membekas baginya adalah saat ia menangani seorang anak perempuan yang belum genap berusia dua tahun, dalam kondisi bersimbah darah akibat tembakan.

Situasi tersebut membuatnya terdiam dan merenungkan arti dari profesi, yang ia jalani selama hampir 40 tahun.

"Hingga semalam saya tiba-tiba menangis. Teringat kami cuma dua minggu. Tapi, mereka di sana bertahun-tahun. Tenaga medis pun tetap bekerja walau situasi dan makan sulit," ungkapnya.

Di sisi lain, dokter Ristiawan juga turut menggambarkan kondisi rumah sakit di Gaza dengan penuh keprihatinan. Menurutnya, lonjakan pasien mencapai 250 persen dari kapasitas normal.

Sementara banyak bangunan rumah sakit rusak, termasuk blok hemodialisis yang hancur akibat serangan bom.

Pasien pun, menurutnya, terpaksa dirawat di tenda-tenda darurat. Dalam keterbatasan alat dan pasokan medis, tim medis harus menggunakan obat-obatan lama yang sudah jarang dipakai, serta melakukan prosedur dengan peralatan seadanya.

"Obat kurang, air bersih terbatas, fasilitas rusak, dan risiko keamanan tinggi. Standar medis yang biasa kami jalankan tak bisa diterapkan sepenuhnya. Banyak prosedur harus dilakukan dengan alat seadanya," ujar Ristiawan.

Situasi keamanan yang tidak stabil juga disebut menjadi tantangan tersendiri selama misi berlangsung. Dentuman bom dan kepulan asap kerap terdengar, bahkan mengancam keselamatan para tenaga medis.

Selama dua minggu bertugas, keduanya mengaku tidak pernah keluar dari rumah sakit karena risiko serangan sniper. Mengambil foto atau membuka ponsel pun menjadi aktivitas yang sangat berbahaya.

Di tengah kondisi itu, keduanya juga menyaksikan krisis kelaparan yang melanda tidak hanya warga sipil, tetapi juga tenaga medis. Ristiawan menceritakan, ada dokter spesialis yang harus diinfus karena tidak makan selama dua hari.

"Kami pun tak tega makan sendiri. Bahkan pernah satu permen Kopiko kami bagi ke dokter di sana. Mereka menerimanya dengan penuh syukur," ucapnya.

Dalam perjalanan singkat dari satu titik ke titik lain, mereka sempat melihat kerumunan warga sipil kurus dan lemah keluar dari lorong-lorong bangunan untuk meminta makanan. Namun, tidak terlihat kemarahan.

"Mereka lapar, tapi tidak kasar. Hungry but not angry," kenangnya.

Reporter: Santi Wahyu/Editor: Ais

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.