24 April 2025

Get In Touch

Berpotensi Rugikan Negara Hampir Rp 1 Triliun, Mahfud MD Soroti Proyek Satelit Kemhan

Mahfud MD.
Mahfud MD.

JAKARTA (Lenteratoday) – Proyek satelit di tubuh Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015 disorot Mahfud MD. Bahkan, Mahfud menyebutkan adanya potensi kerugian negara rugi hingga Rp 1 triliun terkait proyek tersebut.

Proyek satelit di Kementerian Pertahanan (Kemhan) ini adalah pengelolaan satelit untuk slot orbit 123 derajat bujur timur. Proyek tersebut bertujuan untuk satelit komunikasi pertahanan. "Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat satelit komunikasi pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannya belum ada," tutur Mahfud di kantornya, Kamis (13/1/2022).

Mahfud mengaku sudah beberapa kali rapat membahas persoalan ini dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, dan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Mahfud juga telah melaporkan hal ini ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Presiden memerintahkan saya untuk meneruskan dan menuntaskan kasus ini," ucap Mahfud.

Selain itu, Mahfud meminta Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan Audit Tujuan Tertentu (ATT). Hasil dari audit itu pun sudah dikantongi Mahfud.

Pada 19 Januari 2015, Satelit Garuda-1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia. Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit. Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan Slot Orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.

Untuk mengisi kekosongan pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memenuhi permintaan Kementerian Pertahanan (Kemhan) untuk mendapatkan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Kemhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater (satelit sementara pengisi orbit), milik Avanti Communication Limited (Avanti), pada 6 Desember 2015, meskipun persetujuan penggunaan Slot Orbit 123 derajat BT dari Kominfo baru diterbitkan tanggal 29 Januari 2016. Namun pihak Kemhan pada 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT kepada Kominfo.

Pada 10 Desember 2018, Kominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK). Namun PT DNK tidak mampu menyelesaikan permasalahan residu Kemhan dalam pengadaan Satkomhan.

Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti tahun 2015, Kemhan belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut. Untuk membangun Satkomhan, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016, yang anggarannya dalam tahun 2015 juga belum tersedia. Sedangkan di tahun 2016, anggaran telah tersedia namun dilakukan self blocking oleh Kemhan.

Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani. Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp 515 miliar.

Pihak Navayo yang juga telah menandatangani kontrak dengan Kemhan menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen Certificate of Performance, namun tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemhan dalam kurun waktu 2016-2017. Navayo kemudian mengajukan tagihan sebesar USD 16 juta kepada Kemhan, namun Pemerintah menolak untuk membayar sehingga Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura. Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura tanggal 22 Mei 2021, Kemhan harus membayar USD 20.901.209,00 kepada Navayo.

Mahfud pun memperkirakan angka kerugian ini akan bertambah besar. Sebab, menurutnya, masih ada perusahaan lain yang meneken kontrak dengan Kemhan dan belum mengajukan gugatan.

"Selain sudah kita dijatuhi putusan arbitrase di London dan Singapura tadi, negara itu berpotensi ditagih lagi oleh AirBus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat. Jadi banyak sekali nih beban kita kalau ini tidak segera diselesaikan," kata Mahfud.

Kejagung Usut Dugaan Perkara

Di sisi lain, Mahfud sudah berkoordinasi dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Menurut Mahfud, Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mengusut kasus ini.

"Kami mohon Kejaksaan Agung bisa menindaklanjuti ini. Bukan menindaklanjuti, tapi mempercepat daripada kita tagihan-tagihan itu tidak punya alat untuk membantah dan sebagainya, maka kita segera memberi konfirmasi bahwa yang dilakukan Kejaksaan Agung selama ini sudah benar dan kita buktikan dalam seluruh proses pemeriksaan sampai berujung pada proses audit investigasi di Kemenko Polhukam. Kemenko Polhukam ditugaskan untuk menyelesaikan hal ini oleh Presiden itu," kata Mahfud.

Burhanuddin, di tempat yang sama, menyampaikan bahwa kasus ini segera mengerucut ke penyidikan. Namun Burhanuddin belum membeberkan lebih detail.

"Beberapa bulan, bahkan beberapa tahun, kami telah melakukan penelitian dan pendalaman atas kasus ini dan sekarang sudah hampir mengerucut insyaallah dalam waktu dekat kami akan naik penyidikan. Insyaallah dalam satu-dua hari kami akan tindaklanjuti ini. Memang dari hasil penyelidikan cukup bukti untuk kami tingkatkan ke penyidikan," kata Burhanuddin.

Sumber : Antara

Editor : Endang Pergiwati

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.