
JAKARTA (Lentera) - Keputusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Pemilhan Umum (Pemilu) Nasional dan Daerah, disebut anggota legislator lompat pagar atas kewenangan DPR dan bertentangan dengan keputusan MK Nomor : 55/PUU-XVII/2019.
Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan antara pemilu lokal dan pemilu nasional dengan jeda waktu 2,5 tahun, bersifat paradoks.
Dia mengatakan bahwa sebelumnya MK telah memberi enam opsi model keserentakan pemilu, tetapi putusan yang terbaru justru membatasi pada satu model keserentakan.
MK, kata dia, seharusnya konsisten dengan putusan sebelumnya yang memberi pilihan kepada pembentuk undang-undang (UU) dalam merumuskan model keserentakan dalam UU Pemilu.
"UU Pemilu belum diubah pasca putusan 55/PUU-XVII/2019 tidak lantas menjadi alasan bagi MK untuk 'lompat pagar' atas kewenangan DPR. Urusan pilihan model keserentakan pemilu merupakan domain pembentuk UU," kata Khozin di Jakarta merilis Antara, Jumat (27/6/2025).
Apalagi dalam pertimbangan hukum di angka 3.17 Putusan MK No 55/PUU-XVII/2019, menurut dia, secara tegas menyebutkan bahwa MK tidak berwenang menentukan model keserentakan pemilihan.
“Putusan 55 cukup jelas, MK dalam pertimbangan hukumnya menyadari urusan model keserentakan bukan domain MK, tapi sekarang justru MK menentukan model keserentakan,” katanya.
Dia pun menyayangkan putusan MK yang bertolak belakang dengan putusan sebelumnya. Menurut dia, dampak putusan ini akan berdampak secara konstitusional terhadap kelembagaan pembentuk UU (DPR dan Presiden), konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu, hingga persoalan teknis pelaksanaan pemilu.
"Sayangnya, MK hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Di sinilah makna penting dari hakim yang negarawan, karena dibutuhkan kedalaman pandangan dan proyeksi atas setiap putusan yang diputuskan,” katanya.
Namun demikian, dia memastikan bahwa DPR tentu akan menjadikan putusan terbaru MK menjadi bahan penting dalam perumusan perubahan UU Pemilu yang memang diagendakan segera dibahas di DPR. Dia menuturkan, DPR akan melakukan rekayasa konstitusional dalam desain kepemiluan di Indonesia.
“Dalam putusan MK sebelumnya meminta badan pembentuk UU untuk melakukan rekayasa konstitusional melalui perubahan UU pemilu ini,” kata dia.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.
Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6).
Editor: Arief Sukaputra