30 September 2025

Get In Touch

Penyitaan Buku-buku oleh Polisi Bertentangan dengan Visi Prabowo

Buku yang disita polisi dijadikan barang bukti kasus pengerusakan dan pengeroyokan anggota di pos lantas Waru Sidoarjo dibawa Kapolda Jatim, Kamis (18/9/2025) -Kompas
Buku yang disita polisi dijadikan barang bukti kasus pengerusakan dan pengeroyokan anggota di pos lantas Waru Sidoarjo dibawa Kapolda Jatim, Kamis (18/9/2025) -Kompas

JAKARTA (Lentera) -Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM) mengatakan, penyitaan buku anarkisme dalam penangkapan aktivis oleh polisi di Jawa Timur akan merusak tradisi literasi di masyarakat.

Pernyataan ini disampaikan Staf Ahli Bidang Penguatan Reformasi Birokrasi dan Legislasi KemenHAM Rumadi Ahmad, saat merespons penyitaan buku aktivis literasi di Kediri, Jawa Timur.

“Pelarangan atau perampasan buku akan merusak tradisi literasi masyarakat. Kepolisian tidak boleh mengambil langkah eksesif yang merugikan tradisi membaca, karena membaca merupakan bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Presiden Prabowo Subianto berulang kali menegaskan pentingnya membangun dan menjaga tradisi membaca,” kata Rumadi, dalam keterangan tertulis, Rabu (24/9/2025).

Rumadi juga mengatakan, penyitaan buku-buku tersebut tidak sejalan dengan semangat demokrasi dan HAM.

Dia menegaskan bahwa langkah yang dilakukan polisi tidak sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto bahwa dalam penanganan aksi, aparat harus memperhatikan HAM.

“Khususnya sebagaimana diatur dalam Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005,” ujarnya.

Rumadi menambahkan, penyitaan buku-buku tersebut bertentangan dengan visi Presiden, khususnya Asta Cita I, yang menekankan penguatan ideologi Pancasila, demokrasi, dan HAM.

“Tindakan penyitaan buku justru berpotensi menginterupsi upaya pemerintah dalam memperkuat demokrasi dan penghormatan terhadap HAM,” tutur dia, dikutip Kompas.

Rumadi menyatakan, peristiwa ini menunjukkan adanya urgensi reformasi kepolisian yang harus menyentuh hal-hal substansial, termasuk perubahan state of mind aparat agar lebih demokratis, profesional, dan menghormati HAM.

Diketahui, Pos Lantas Waru Sidoarjo dirusak dan dibakar oleh kelompok tak dikenal saat ramai aksi demonstrasi yang berujung kericuhan di Surabaya pada Jumat (29/8/2025) malam hingga Sabtu (30/8/2025) dini hari.

Sejumlah anggota yang berpatroli di lokasi tersebut mengalami pengeroyokan.

Sebanyak 18 orang ditangkap atas pembakaran Pos Lantas Waru, termasuk 10 anak berhubungan dengan hukum atau ABH.

Dari penangkapan tersebut, polisi menyita 11 buku dari satu pelaku berinisial GLM (24). Buku-buku ini dinilai polisi menganut paham-paham anarkisme.

Sebagai informasi, 11 judul buku yang disita di antaranya adalah "Pemikiran Karl Marx" karya Franz Magnis-Suseno, "Anarkisme" karya Emma Goldman, "Kisah Para Diktator" karya Jules Archer, dan "Strategi Perang Gerilya" karya Che Guevara.

Direktur Ditreskrimum Polda Jatim Kombes Pol Widi Atmoko mengatakan, penyitaan buku bertujuan untuk menyelidiki pengaruh pemahaman narasi buku terhadap tindakan tersangka.

Kapolda Jawa Timur (Jatim) Irjen Pol Nanang Avianto menegaskan, pihaknya tidak melarang pembacaan buku-buku tersebut oleh kalangan profesional sebagai bagian dari pendalaman pemahaman.

“Tetapi, kalau kemudian dipraktikkan, berarti kan proses pembelajarannya dari buku itu. Silakan baca buku, tetapi kalau tidak bagus jangan dipraktikkan,” ujar Nanang, Kamis (18/9/2025)*

Editor: Arifin BH

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.