SURABAYA (Lentera) - Fenomena banjir rob yang semakin sering melanda wilayah pesisir Indonesia kini menjadi ancaman serius bagi kehidupan masyarakat. Meski dipicu oleh pasang air laut, dampaknya yang meluas membuat banjir rob tidak lagi dipandang sebagai peristiwa alam biasa, melainkan bencana yang perlu diantisipasi secara serius.
Hal ini disampaikan oleh Dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan, Dr. Eng. Sapto Andriyono, S.Pi., M.T. Ia menjelaskan banjir rob umumnya terjadi di kawasan pesisir yang memiliki elevasi lebih rendah dibandingkan level pasang maksimum air laut.
“Tidak semua wilayah pesisir mengalami banjir rob, tetapi daerah yang topografinya lebih rendah dari pasang tinggi sangat rentan. Di Surabaya Utara misalnya, beberapa titik memang sudah berada di bawah elevasi pasang laut,” ucapnya, Selasa (16/12/2025).
Sapto menambahkan, durasi genangan banjir rob kerap semakin panjang saat memasuki musim hujan. Kombinasi antara pasang laut tinggi dan curah hujan besar menyebabkan air sulit surut, sehingga berdampak pada berbagai sektor, mulai dari aktivitas ekonomi hingga pendidikan.
Ia menilai, banjir rob juga dipicu oleh masifnya pembangunan di kawasan pesisir. Banyak wilayah yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan, termasuk hutan mangrove, justru beralih menjadi permukiman, pergudangan, hingga kawasan industri.
“Daerah resapan sangat dibutuhkan. Namun saat mangrove berubah menjadi kawasan terbangun, tekanan air laut ke daratan menjadi semakin tinggi,” jelasnya.
Menurut Sapto, hutan mangrove merupakan benteng alami paling efektif dalam meredam banjir rob. Mangrove memiliki toleransi tinggi terhadap salinitas dan mampu menjadi penghalang alami sebelum air laut mencapai permukiman warga.
“Mangrove itu ideal. Harapannya, di Surabaya green belt mangrove bisa diperkuat dan dipertebal,” ujarnya.
Meski pembangunan tanggul sering dijadikan solusi cepat, Sapto mengingatkan bahwa struktur beton justru dapat memicu persoalan baru. Tanggul berpotensi mengganggu arus laut, mengubah pola gelombang, serta menimbulkan erosi atau sedimentasi di wilayah lain.
Selain itu, pembangunan masif juga memperparah penurunan muka tanah (land subsidence). Sejumlah penelitian bahkan memprediksi sebagian kawasan pesisir utara Jawa berpotensi hilang dalam beberapa dekade ke depan jika laju penurunan tanah tidak dikendalikan.
Pembangunan yang tidak terkendali juga mendorong intrusi air laut semakin jauh ke daratan, menggeser akuifer air tawar dan menyulitkan masyarakat pesisir memperoleh sumber air bersih.
Ia juha menekankan, mitigasi banjir rob harus diperkuat melalui edukasi masyarakat serta perencanaan tata kota yang lebih memperhatikan keseimbangan dan keberlanjutan ekosistem pesisir.
“Semakin banyak bangunan, intrusi laut semakin meningkat dan air tawar terdorong menjauh. Ke depan, membuat sumur air tawar pun akan semakin sulit,” tutupnya. (*)
Reporter: Amanah
Editor : Lutfiyu Handi





