KOLOM (Lentera) -Islah antara Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Miftahul Akhyar dan Ketua Umum KH. Yahya Cholil Staquf bisa disebut terwujud.
Kejadian itu tidak dapat dilepaskan dari empat tokoh muda berlatar belakang Gus dan Kiai. Keempatya memainkan peran penting dalam proses panjang menuju rekonsiliasi tersebut.
Pertama, KH. Atthoillah Anwar Mansur Lirboyo. Figur yang paling konsisten menggaungkan pentingnya islah. Dalam berbagai pertemuan Mustasyar dan para kiai sepuh, baik di Ploso, Jombang, maupun Lirboyo, beliau hadir aktif dan mengawal jalannya dialog.
Atas kepercayaan Dewan Mustasyar dan para kiai sepuh, Kiai Anwar Mansur diberi amanah khusus sebagai mediator islah antara Rais Aam KH. Miftahul Akhyar dan Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf.
Kedua, KH. Muhibbul Aman Aly, kiai yang dikenal luas melalui fatwa “sound horeg”. Selain mengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Besuk, Kejayan, Pasuruan, beliau juga berkiprah sebagai penasehat, pengajar, sekaligus perumus bahtsul masail di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.
Dalam proses islah, beliau ditunjuk langsung oleh Dewan Mustasyar untuk mendampingi KH. Atthoillah Anwar Mansur dalam menjalin komunikasi dengan Rais Aam PBNU KH. Miftahul Akhyar.
Ketiga, KH. Abdul Muid Shohib Lirboyo. Meski tidak secara formal ditetapkan sebagai bagian dari tim penghubung islah, peran beliau sangat menonjol sebagai perumus gagasan dan juru bicara dalam setiap forum Mustasyar.
Termasuk pertemuan para kiai sepuh, mulai dari Ploso, Jombang, Lirboyo, hingga forum resmi Tabayun antara Rais Aam dan Mustasyar di Lirboyo yang akhirnya melahirkan kesepakatan islah.
"Seiring berjalannya waktu, sejarah akan merekam kontribusi dan perjuangan tokoh-tokoh tersebut," tulis akun Pecinta Ulma Nusantara.
Keempat, KH. Zulfa Mustofa menjabat sebagai Penjabat Ketua Umum PBNU.
Dia adalah intelektual ahli syair Arab, cucu kemenakan Syekh Nawawi Al-Bantani, dan keponakan mantan Wapres Ma'ruf Amin, yang aktif dalam pendidikan pesantren dan kepengurusan NU
Zulfa naik ke panggung bukan karena ambisi, melainkan karena keadaan darurat.
Ditunjuk Syuriyah PBNU di Hotel Sultan, Jakarta, ia hadir sebagai solusi sementara di tengah dualisme kepemimpinan yang membuat PBNU seperti rumah besar dengan dua kepala keluarga, satu dapur, dan api kompor yang hampir menyambar tirai.
Situasinya genting, waktunya sempit, ekspektasinya rendah. Ia bukan dipanggil untuk membangun, tapi untuk menahan runtuh.
PBNU berada pada fase paling rapuh. Dualisme antara Gus Yahya dan Syuriyah membuat struktur organisasi bergetar dari pusat sampai cabang.
Setiap pernyataan bisa menjadi percikan. Setiap langkah bisa jadi bensin. Zulfa dipaksa berjalan di tali tipis, terlalu aktif bisa dianggap manuver, terlalu pasif bisa dituduh tak berguna.
Ia memilih jalan tengah, hadir, menjaga, dan tidak banyak bergerak. Ia bukan arsitek. Ia perancah. Tidak indah, tapi menentukan.
Zulfa tidak membawa janji perubahan, apalagi program strategis. Ia sadar betul posisinya bukan ketua umum penuh, melainkan penjaga gawang darurat.
Tugasnya sederhana tapi krusial. Memastikan organisasi tetap utuh, legitimasi Syuriyah tetap berdiri, dan PBNU tidak pecah sebelum Muktamar ke-35 digelar.
Pada 16 Desember 2025, Zulfa berangkat ke Aceh. Di Pesantren Dayah Ummul Ayman, Samalanga, Kabupaten Bireuen, ia menyerahkan bantuan kemanusiaan sebesar Rp1 miliar dan 3.000 paket sembako.
Di tengah kisruh elite, ia memilih turun ke akar. Di saat kursinya belum hangat, ia justru membuktikan, jabatan sementara pun bisa melahirkan tindakan nyata. Bukan retorika, tapi beras dan uang tunai.
Bantuan itu dibagikan hanya beberapa hari sebelum jabatannya berakhir. Pada 25 Desember 2025, bertepatan dengan Hari Natal, drama mencapai klimaks.
Islah di Lirboyo terjadi. KH Miftachul Akhyar dan Gus Yahya berdamai, difasilitasi KH Ma’ruf Amin. Dualisme selesai hanya dengan satu jabat tangan.
Seperti hukum alam dalam politik organisasi, ketika konflik berakhir, figur transisi otomatis gugur.
Zulfa tak diberhentikan secara dramatis. Tidak ada surat resmi, tidak ada konferensi pers perpisahan. Ia hanya kembali ke posisi semula, seolah 16 hari itu hanyalah mimpi singkat.
Kursi panas yang sempat ia duduki dikembalikan kepada pemiliknya. Perannya selesai, fungsinya habis.
Rosadi Jamani, Ketua Satupena Kalimantan Barat, memberi kesan di akun FB-nya: Zulfa menjadi penanda bahwa PBNU pernah berada di titik paling rawan, sampai harus melahirkan penjabat ketua umum dengan masa tugas tercepat dalam sejarahnya.
Zulfa menjadi catatan kaki, tapi catatan kaki yang menjelaskan satu bab besar, betapa rapuhnya organisasi ketika elite bertarung.
Ke depan, nama Zulfa Mustofa mungkin tak lagi disebut dalam struktur. Tetapi akan selalu muncul setiap kali orang membicarakan masa transisi PBNU paling singkat, paling sunyi, dan paling absurd.
Meski kesepakatan islah telah dicapai dalam Rapat Konsultasi Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, status kepemimpinan PBNU secara organisatoris belum mengalami perubahan.
Dikutip Lentera, hingga kini, jabatan Penjabat (Pj) Ketua Umum PBNU masih dipegang oleh KH. Zulfa Mustofa berdasarkan hasil rapat pleno PBNU.
Hal tersebut ditegaskan Rais Aam PBNU KH. Miftachul Akhyar, yang menyatakan bahwa struktur kepengurusan PBNU saat ini masih merujuk pada keputusan rapat pleno PBNU yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Selasa (9/12/2025)
Arifin BH, Pemimpin Redaksi




